About Me
- Unknown
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.
Translate
Blog Archive
Popular Posts
-
Pantai Delegan sangat cocok untuk wisata Pantai ini terletak di desa Delegan Kecamatan Panceng dari Gresik kota berjarak sekitar 40 km, ...
-
Game adalah hiburan yang paling menarik. Bermain game bagi orang tua dan anak anak cenderung akan mengakibatkan kecanduan. Namun bermain...
-
John Pieter adalah seorang mahasiswa jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan semangat pantang menyerah membuat John Pie...
-
Beberapa Bahaya Mengerikan Memakai Headset | Sebuah penelitian menunjukan bahwa menggunakan headset yang terlalu sering bisa memberikan ...
-
PPIC atau Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan adalah departemen yang menjembatani departemen Marketing dengan departemen-dep...
-
Berikut beberapa tips dari pakar kesehatan bagi anda yang suka berlama-lama di depan komputer baik yang sedang bekerja maupun yang hanya se...
-
Manfaat Khasiat Daun Kelor Untuk Kesehatan Tubuh Kelor ( Moringa oleifera ), tanaman ini memiliki zat-zat kimia yang terkandung pada da...
-
13 Kunci Marketing 2013 Konsep marketing terus berkembang dari waktu ke waktu. Globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologipun...
-
Dreamweaver adalah sebuah program yang digunakan untuk membuat sebuah website dengan cara mendesain dan memprogram secara langsung.did...
-
Mengusung budaya continuous learning , yaitu budaya sharing dan belajar, itulah resep Semen Indonesia menyukseskan implementasi Knowledge...
Blogger news
Blogroll
Blogger templates
Memassalkan Barang Prestise
Oleh : HERMAWAN KARTAJAYA
Redaktur ahli SWA dan President of MarkPlus dan Co.
Krisis bisa memberikan peluang atau ancaman juga. Semua itu tergantung pada siapa dan bagaimana kita menilainya. Saya memiliki pengalaman menarik dengan krisis. Di saat terjadi kerusuhan pertengahan Mei 1998 yang membuat sebagian ekspat dan etnis Tionghoa berbondong – bondong ke luar negeri, justru saya mendapatkan peluang.
Pada saat itu, harga tanah di Graha Family (GF) masih tergolong murah. Saya membeli rumah di sana dengan harga tanah Rp 825ribu/m2. Sekarang harganya menjolak menjadi 5 juta/m2. Dengan semakin mahalnya harga itu, tentu meningkatkan citra perumahan GF.
Bahkan, ada guyonan yang mengatakan GF merupakan kawasan kepala naga, sedangkan ekornya berada di kawasan Darmo. Benar atau tidak, namanya saja guyonan. Yang menarik lagi, sampai ada yang mengatakan, “Status Anda ditentukan oleh alamat Anda.” Jadi, dengan menanyakan alamat saja, Anda bisa menilai seseorang. Citra ini tentu mendorong para diplomat dan juga pengusaha besar berinvestasi di GF. Menyadari minat pasar yang besar, PT Dharmala Intiland (DI) tertarik memassalkan GF dengan menawarkan rumah tipe kecil, sehingga dapat memiliki banyak orang.
Konsumen di Indonesia memang memiliki karakteristik yang aneh. Beberapa waktu yang lalu ketika mengunjungi pameran di Pekan Raya Jakarta, dari jauh saya melihat furnitur yang bagus dan eksklusif,di situ tertulis juga harga Rp 15.000. Setelah saya dekati, ternyata Rp 15.000 merupakan pembayaran per minggu, dan totalnya harus membayar selama 5 tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih menekankan pada prinsip affordable. Meski mahal asal terjangkau, tetap di beli, sekalipun secara kredit.
Dulu, kita terbiasa minum kopi di warteg atau warung kopi. Sekarang, justru semakin banyak orang yang memilih minum kopi sambil nongkrong di Strarbucks atau Coffee Bean. Inilah era munculnya new- luxury goods, meskipun Indonesia dikatakan masih mengalami krisis.
Hal ini sama seperti apa yang terjadi dengan DI yang berusaha memassalkan produk perumahan premium. Dengan citra premium yang ada selama ini, memudahkan DI memasarkan perumahan berikutnya yang lebih terjangkau tapi tidak mengurangi prestise yang sudah terbangun.
Lihat saja mobil BMW yang dikenal sebagai mobil premium. BMW seri 3 dengan harga yang terjangkau oleh golongan menengah lebih menarwarkan affordability. Sehingga tidak mengherankan pertumbuhan penjualan BMW merupakan salah satu yang tertinggi di Asia tanpa kehilanggan citra dan prestise tinggi, yang tetap dipertahankan melalui BMW seri 7.
Produk – produk seperti itulah yang diistilahkan Silverstein dan Fiske dalam artikelnya di Harvand business Review, April 2003, sebagai produk masstige alias mass prestige. Produk yang penuh dengan prestise dan citra tinggi tetapi affordable. Kemunculan produk masstige tentu tidak bisa dilepaskan dari perilaku baru konsumen akhir – akhir ini.
Mereka berdua mengatakan bahwa konsumen saat ini sangat mementingkan questing, gaya hidup individual, conecting, dan prinsip taking care of me. Konsumen menginginkan ini didorong kebutuhan terhadap citra dan gaya hidup individual. Mengapa dibutuhkan citra? Tentunya bertujuan agar pada waktu kumpul – kumpul (conecting) tidak ketinggalan zaman, dan bisa membanggakan diri.
Semua itu tidak terlepas dari munculnya berbagai produk yang justru semakin membingungkan konsumen. Sehingga, mereka lebih memilih produk yang benar – benar memahami konsumen, atau produk yang bagi konsumen taking care of me.
Konsumen seperti ini menjadi sasaran empuk para pemasar. Lihat saja apa yang kita dilakukan Citibank dengan Eazypay. Kita bisa membeli produk mahal secara kredit dengan memanfaatkan fasilitas Eazypay dan Citibank. Bukankah ini memungkinkan konsumen membeli produk mahal tetapi terjangkau?
Saya sering mengatakan bahwa Anda harus dapat melihat pasar secara kreatif. Meskipun dikatakan kita masih dalam tahap pemulihan dari krisis, ternyata tetap ada pasar yang cukup menjanjikan. Pasar yang mementingkan prestise, citra dan terjangkau. Untuk itu, mulailah berpikir menawarkan produk masstige.

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar